Minggu, 22 Februari 2009
.jpg)
Akhir-akhir ini, hampir setiap hari saya melihat dan mengikuti berita di berbagai media masa tentang perkembangan politik di negeri ini. Persaingan antar partai politik dalam pemilu tahun ini semakin tajam. Maneuver demi maneuver dilakukan untuk mendapatkan simpati masa, untuk mendapatkan dukungan sebanyak-banyaknya pada pemilu nanti. Banyak cara yang dilakukan oleh partai untuk mencapai tujuan dalam memenangkan pemilu. Mulai dari memasang iklan, mengadakan acara hiburan rakyat, memberikan bantuan-bantuan, mendatangi pengajian-pengajian, sampai pada sowan ke makam-makam. Ada juga yang jeli melihat potensi yang besar untuk dapat mempengaruhi masa dengan menggandeng para tokoh atau ulama’. Itu semua merupakan cara yang sah-sah saja dalam dunia politik.
Melihat dinamisasi politik yang semakin berkembang, banyak orang mulai tertarik untuk terjun di dunia politik dengan berbagai macam tujuannya. Ada yang dulu bekerja menjadi sales, sekarang mencalonkan diri menjadi anggota dewan dengan harapan bisa memperbaiki ekonominya karena gaji dewan banyak. Ada yang purnawirawan TNI sekarang juga aktif di partai dan mencalonkan diri menjadi caleg, bupati dan bahkan presiden dengan alasan ingin menambah pengabdian kepada Ibu Pertiwi. Ada pula para tokoh dan ulama’ yang kini mulai banyak terlihat keluar masuk partai politik dengan alasan ingin mengabdi kepada umat dalam jumlah yang lebih luas lagi, selain itu ada juga yang beralasan demi menjaga moralitas bangsa karena menganggap dunia politik sekarang sudah mulai keluar dari norma-norma sosial dan agama. Begitulah fenomena politik yang ada pada masyarakat kita dewasa ini.
Keikutsertaan banyak tokoh termasuk ulama’ dalam partai politik, mengingatkan saya pada kyai saya yang sangat saya hormati. Kabar terakhir yang saya dengar, beliau sekarang aktif menjadi pengurus di salah satu partai. Sebagai santri yang mempunyai ikatan spiritual-emosional dengan sang kyai, sudah sewajarnya saya dan santri-santri lainnya yang sependapat dengan saya merasa khawatir dan resah dengan apa yang sedang dan akan terjadi pada sang kyai. Berbagai macam pertanyaan muncul. Apakah selamanya figur sang kyai akan tetap berdiri kokoh di dalam pesantren dan masyarakat yang majmuk? Masihkah akan banyak orang mengantre untuk sowan meskipun pintu rumah beliau selalu terbuka lebar untuk siapapun? Akankah mereka tetap khusyu’ dan patuh mendengar petuah beliau meskipun kini sang kyai akan lebih sering berkhotbah? Akankah doa sang kyai akan tetap mustajab meskipun kini banyak orang mulai meragukannya?
Semua itu adalah kekhawatiran-kekhawatiran yang sering terlintas dalam benak saya. Bukannya saya tidak percaya dengan Ulama’ yang Umara’ atau Umara’ yang Ulama’. Tapi menurut saya cita-cita itu terlalu ideal untuk diterapkan dalam konteks masyarakat kita sekarang ini, mengingat peran dan sosok tokoh atau kyai dalam dunia politik dan dalam sosial masyarakat sama sekali berbeda. Ketika seseorang masuk pada satu partai politk maka dia sudah diklaim hanya menjadi milik kelompok tertentu. Dengan begitu, secara tidak langsung sang kyai sudah membatasi diri dari masyarakat yang heterogen, yang pasti tidak semuanya sejalan dengan visi dan cita-cita partai yang diikuti atau dipimpin oleh sang kyai. Apalagi kita tahu sentimen dan antipati antara satu partai dengan partai yang lain sangatlah tinggi. Nah, di sini figur sang kyai di mata masyarakat mulai rapuh. Figur sang kyai yang seharusnya menjadi tauladan bagi siapapun dan tempat bernaung bagi kelompok atau masyarakat manapun sekarang hanya menjadi panutan bagi kelompok tertentu. Dari situ, tingkat kepercayaan dan kepatuhan masyarakat kepada kyai sediikit demi sedikit akan mulai berkurang.
Lebih dari itu, dunia politik yang penuh intrik akan mengotori “kesucian” status sang kyai. Status prestisius yang sangat di hormati oleh semua orang karena keilmuan dan kealimannya. Tapi orang dengan apatis mulai mengabaikannya kerana dia dan sang kyai tidak lagi mempunyai pandangan yang sama. Sehingga akan muncul gap antara sang kyai dengan masyarakat, atau bahkan dengan santri yang tidak sepaham dengan sang kyai. Jarak itu akan semakin jauh seiring dengan adanya kepentingan yang semakin berbeda. Mungkin itu adalah sebuah konsekwensi dari sebuah pilihan. Sang kyai lebih memilih untuk tinggal di sebuah kamar yang sempit daripada rumah besar yang luas. Tentu ini akan berdampak negatif terhadap eksistensi sang kyai dan pesantrennya secara khusus, serta Islam secara luas karena kyai adalah imam dalam agama. Kalau sudah demikian, kharisma sang kyai akan pudar tergerus oleh karir barunya sendiri. Ibarat keraton tanpa mitos, apalah artinya seorang kyai tanpa kharisma.
Dalam posisi seperti ini, menurut saya sesungguhnya sosok kyai dengan atau tanpa sadar banyak dieksploitasi dan dimanfaatkan. Keberadaan kyai hanya dijadikan pagar partai politik dari isu-isu dan anggapan negatif yang dituduhkan kepada partai karena kyai adalah orang yang dianggap bersih. Selain itu kyai juga dijadikan pintu gerbang masuk para konstituen partai politik mengingat kyai adalah seorang figur yang mempunyai pengaruh besar terhadap masyarakat. Kalau memang begitu adanya fungsi dan peran kyai dalam partai politik, maka nama besar sang kyai hanya dijadikan merek dagang yang mempunyai nilai jual tinggi. Sangat disayangkan sekali, kyai adalah sosok yang terlalu mulya untuk dijadikan korban politik, korban kepentingan sesaat, dan korban orang-orang yang ambisius akan kekuasaan.
Di akhir sebuah ungkapan, saya hanya bisa berdoa dan berharap yang terbaik buat sang kyai. Tuhan,,,tunjukkanlah kepada kami mana yang haq dan mana yang bathil dan keduanya jelas berbeda. Aku memohon kepadaMu, tunjukkanlah kepada kami mana yang tulus dan mana yang tendensius. Dan semoga sang kyai tetap berada dalam lindunganMu. Amin!
Adakah doa ini terkabul, Tuhan lah yang Maha Mendengar dan Maha Tahu. Wallahu A’lam.
2 Comments:
-
- Ama' said...
2 Maret 2009 pukul 18.02ngritik bukan berari benci tapi ngritik bearti sayang sama beliau.- zuddin said...
2 Maret 2009 pukul 18.06kapan nech di terbitkan sebuah buku ajah biar tambah keren.setuju apa yang di tulis oleh amak.
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)