Minggu, 22 Februari 2009

Baca dengan Hati Nuranimu

Hai….Para (Mantan) Santri………
Ku panggil kalian dengan seruan
Teriakan keras penuh kemarahan
Kemana saja kalian selama ini
Kesibukan apa yang membuat kalian lena
Apakah kebebasan yang baru kalian dapatkan terlalu indah untuk dinikmati
Sehingga kalian lupa menengok rumah lama kalian di tanah Suci

Di sana
Tidakkah kalian tahu
Lingkungan yang dulu asri mulai ada yang mengotori
Rumah yang dulu kaya sekarang akan terjual secara terpisah
Bangunan yang kokoh itu rapuh digerogoti rayap-rayap kepentingan
Dan kebersihannya pun kini tak lagi terjaga karena sarang-sarang tikus yang mulai ada

Aku geram menyaksikan semuanya
Ingin ku libas para penjilat kekuasaan itu dengan bantuan Tuhan
Tapi apalah daya
Doaku terhalang oleh undang-undang
Dan Ababil takkan datang untuk menyerang

Sekarang aku tak berharap dengan keajaiban
Jangan pernah bilang karena Tuhan diam
Tapi mata mereka lah yang terpejam

Dengan pertimbangan panjang telah ku putuskan
Aku ingin kalian saja lah yang datang
Menjadi juru selamat atas nama Hamam
Suarakanlah dengan lantang
”Aku datang untuk menang”

DenBagus
Jogjakarta 210209

Kyaiku Politisi

Curahan Hati Seorang Santri

Akhir-akhir ini, hampir setiap hari saya melihat dan mengikuti berita di berbagai media masa tentang perkembangan politik di negeri ini. Persaingan antar partai politik dalam pemilu tahun ini semakin tajam. Maneuver demi maneuver dilakukan untuk mendapatkan simpati masa, untuk mendapatkan dukungan sebanyak-banyaknya pada pemilu nanti. Banyak cara yang dilakukan oleh partai untuk mencapai tujuan dalam memenangkan pemilu. Mulai dari memasang iklan, mengadakan acara hiburan rakyat, memberikan bantuan-bantuan, mendatangi pengajian-pengajian, sampai pada sowan ke makam-makam. Ada juga yang jeli melihat potensi yang besar untuk dapat mempengaruhi masa dengan menggandeng para tokoh atau ulama’. Itu semua merupakan cara yang sah-sah saja dalam dunia politik.

Melihat dinamisasi politik yang semakin berkembang, banyak orang mulai tertarik untuk terjun di dunia politik dengan berbagai macam tujuannya. Ada yang dulu bekerja menjadi sales, sekarang mencalonkan diri menjadi anggota dewan dengan harapan bisa memperbaiki ekonominya karena gaji dewan banyak. Ada yang purnawirawan TNI sekarang juga aktif di partai dan mencalonkan diri menjadi caleg, bupati dan bahkan presiden dengan alasan ingin menambah pengabdian kepada Ibu Pertiwi. Ada pula para tokoh dan ulama’ yang kini mulai banyak terlihat keluar masuk partai politik dengan alasan ingin mengabdi kepada umat dalam jumlah yang lebih luas lagi, selain itu ada juga yang beralasan demi menjaga moralitas bangsa karena menganggap dunia politik sekarang sudah mulai keluar dari norma-norma sosial dan agama. Begitulah fenomena politik yang ada pada masyarakat kita dewasa ini.

Keikutsertaan banyak tokoh termasuk ulama’ dalam partai politik, mengingatkan saya pada kyai saya yang sangat saya hormati. Kabar terakhir yang saya dengar, beliau sekarang aktif menjadi pengurus di salah satu partai. Sebagai santri yang mempunyai ikatan spiritual-emosional dengan sang kyai, sudah sewajarnya saya dan santri-santri lainnya yang sependapat dengan saya merasa khawatir dan resah dengan apa yang sedang dan akan terjadi pada sang kyai. Berbagai macam pertanyaan muncul. Apakah selamanya figur sang kyai akan tetap berdiri kokoh di dalam pesantren dan masyarakat yang majmuk? Masihkah akan banyak orang mengantre untuk sowan meskipun pintu rumah beliau selalu terbuka lebar untuk siapapun? Akankah mereka tetap khusyu’ dan patuh mendengar petuah beliau meskipun kini sang kyai akan lebih sering berkhotbah? Akankah doa sang kyai akan tetap mustajab meskipun kini banyak orang mulai meragukannya?

Semua itu adalah kekhawatiran-kekhawatiran yang sering terlintas dalam benak saya. Bukannya saya tidak percaya dengan Ulama’ yang Umara’ atau Umara’ yang Ulama’. Tapi menurut saya cita-cita itu terlalu ideal untuk diterapkan dalam konteks masyarakat kita sekarang ini, mengingat peran dan sosok tokoh atau kyai dalam dunia politik dan dalam sosial masyarakat sama sekali berbeda. Ketika seseorang masuk pada satu partai politk maka dia sudah diklaim hanya menjadi milik kelompok tertentu. Dengan begitu, secara tidak langsung sang kyai sudah membatasi diri dari masyarakat yang heterogen, yang pasti tidak semuanya sejalan dengan visi dan cita-cita partai yang diikuti atau dipimpin oleh sang kyai. Apalagi kita tahu sentimen dan antipati antara satu partai dengan partai yang lain sangatlah tinggi. Nah, di sini figur sang kyai di mata masyarakat mulai rapuh. Figur sang kyai yang seharusnya menjadi tauladan bagi siapapun dan tempat bernaung bagi kelompok atau masyarakat manapun sekarang hanya menjadi panutan bagi kelompok tertentu. Dari situ, tingkat kepercayaan dan kepatuhan masyarakat kepada kyai sediikit demi sedikit akan mulai berkurang.

Lebih dari itu, dunia politik yang penuh intrik akan mengotori “kesucian” status sang kyai. Status prestisius yang sangat di hormati oleh semua orang karena keilmuan dan kealimannya. Tapi orang dengan apatis mulai mengabaikannya kerana dia dan sang kyai tidak lagi mempunyai pandangan yang sama. Sehingga akan muncul gap antara sang kyai dengan masyarakat, atau bahkan dengan santri yang tidak sepaham dengan sang kyai. Jarak itu akan semakin jauh seiring dengan adanya kepentingan yang semakin berbeda. Mungkin itu adalah sebuah konsekwensi dari sebuah pilihan. Sang kyai lebih memilih untuk tinggal di sebuah kamar yang sempit daripada rumah besar yang luas. Tentu ini akan berdampak negatif terhadap eksistensi sang kyai dan pesantrennya secara khusus, serta Islam secara luas karena kyai adalah imam dalam agama. Kalau sudah demikian, kharisma sang kyai akan pudar tergerus oleh karir barunya sendiri. Ibarat keraton tanpa mitos, apalah artinya seorang kyai tanpa kharisma.

Dalam posisi seperti ini, menurut saya sesungguhnya sosok kyai dengan atau tanpa sadar banyak dieksploitasi dan dimanfaatkan. Keberadaan kyai hanya dijadikan pagar partai politik dari isu-isu dan anggapan negatif yang dituduhkan kepada partai karena kyai adalah orang yang dianggap bersih. Selain itu kyai juga dijadikan pintu gerbang masuk para konstituen partai politik mengingat kyai adalah seorang figur yang mempunyai pengaruh besar terhadap masyarakat. Kalau memang begitu adanya fungsi dan peran kyai dalam partai politik, maka nama besar sang kyai hanya dijadikan merek dagang yang mempunyai nilai jual tinggi. Sangat disayangkan sekali, kyai adalah sosok yang terlalu mulya untuk dijadikan korban politik, korban kepentingan sesaat, dan korban orang-orang yang ambisius akan kekuasaan.

Di akhir sebuah ungkapan, saya hanya bisa berdoa dan berharap yang terbaik buat sang kyai. Tuhan,,,tunjukkanlah kepada kami mana yang haq dan mana yang bathil dan keduanya jelas berbeda. Aku memohon kepadaMu, tunjukkanlah kepada kami mana yang tulus dan mana yang tendensius. Dan semoga sang kyai tetap berada dalam lindunganMu. Amin!

Adakah doa ini terkabul, Tuhan lah yang Maha Mendengar dan Maha Tahu. Wallahu A’lam.

Dream Comes True

Mulailah kenyataan dalam hidupmu dari sebuah mimpi
capailah kesuksesan masa depan dengan mimpi
dan temukan kebahagiaan dalam hidupmu dalam mimpi panjangmu
karena hanya mereka yang punya mimpi yang berani menghadapi masa depan jauh ke depan